chat


ShoutMix chat widget

Pilih Musik Yang Anda Sukai

Menurut Anda siapa yang akan terpilih menjadi Presiden RI pada PEMILU di Tahun 2009 ini?


I made this widget at MyFlashFetish.com.

technorati

Minggu, 30 November 2008

Alloy Gigi dan Kekebalan Terhadap Korosi

Ringkasan

Logam dan campuran logamnya (alloy) merupakan material yang tidak bisa dihindari pemakaiannya dalam kedokteran gigi setiap hari untuk membuat isian, sistem pasak dan inti tuang, mahkota individual, struktur atas implant, gigitiruan dan alat-alat ortodontik. Material yang ditanam dalam mulut terekspos dalam periode waktu yang lama terhadap pengaruh fungsional, biokimia dan pengaruh bakteri media mulut yang bisa memiliki imbas negatif terhadap alat terapeutik atau jaringan di sekitarnya. Kekebalan terhadap korosi merupakan sebuah persyaratan untuk biokompatibilitas. Karena alasan ekonomi, logam yang sangat tahan korosi jarang digunakan, sedangkan logam-logam yang tidak terlalu kuat terhadap korosi bermunculan di pasaran. Karena seorang dokter-gigi bertanggungjawab untuk pemilihan logam yang ditanam, maka sebleum penanaman diperlukan untuk memperkirakan dampak saliva sebagai sebuah media agresif terhadap semua logam atau alloy. Berdasarkan penelitian dari berbagai literatur, tujuan dari penelitian kali ini adalah untuk memberikan dan menggambarkan logam-logam gigi yang telah ada dan alloy-alloy dalam konteks karakteristik anti korosinya, dan cara ini membantu seorang dokter gigi dalam membuat pilihan yang tepat.

Pendahuluan

Sekarang ini, banyak macam alloy yang telah digunakan dalam kedokteran gigi untuk pengisian, prostetik cekat dan prostetik mobile, alat-alat ortodontik dan implant-implant gigi. Alloy-alloy yang diaplikasikan dalam sebuah mulut diekspos terhadap pengaruh gaya-gaya kimia, biologis, mekanis, thermal dan elektrik. Gaya-gaya ini memiliki efek negatif terhadap karakteristik fungsional dan estetik alloy gigi dan secara substansial mengurangi ketahanannya. Korosi elektrokimia merupakan faktor perusak yang paling penting bagi alooy gigi. Korosi merupakan penguraian permukaan logam yang tidak diinginkan, dan kerusakan pada lapisan luar dan dalam permukaannya yang diakibatkan oleh eksposur terhadap bahan kimia atau reaksi elektrokimia daerah sekitarnya. Elektrolit diperlukan untuk reaksi elektrokimia. Saliva, serta jaringan lunak dan jaringan keras, memiliki peranan sebagai elektrolit dalam mulut. Saliva adalah media pengaruh korosif yang kuat. Potensi korosi dari saliva meningkat pada saat faktor pH nya berkurang dan pada saat konsentrasi klorida meningkat. Pada kebanyakan sistem alloy-elektrolit, korosi berhenti pada permukaan dengan terbentuknya lapisan oksida yang merupakan proteksi baik dari korosi lebih lanjut. Ada dua lapisan protektif berbeda yang terbentuk dalam mulut; sebuah lapisan oksida dan sebuah biofilm.

Lapisan oksida dan biofilm

Jika kita menanam satu atau lebih logam dalam mulut, maka logam cenderung mengalami ionisasi. Karena perbedaan potensial alloy, maka ion-ion alloy cenderung berubah menjadi elektrolit dan dengan aksi logam ini akan menjadi melebur. Dengan absorpsi oksigen, sebuah lapisan oksida terbentuk pada permukaan alloy yang dapat mencegah peleburan lebih lanjut dari sisa komponen alloy.

Biofilm merupakan sebuah lapisan permukaan yang menutupi semua permukaan dalam mulut, dan terbentuk oleh presipitasi protein dan glikoprotein dari saliva. Dengan demikian, ketahanan alloy gigi terhadap korosi tergantung pada komponen kimia dari saliva, yang pertama dan utama adalah komponen organik. Biofilm mempengaruhi konversi ion antara permukaan alloy dengan daerah sekitarnya. Yang paling sering adalah biofilm sulfida, yang terbentuk sebagai sebuah hasil dari pembentukan perak atau tembaga sulfida. Ini adalah reaksi-reaksi alloy dan sulfur dari makanan dan minuman, dan menyebabkan perubahan warna alloy dan mengurangi aktivitas korosinya lebih lanjut.

Disamping pembentukan biofilm dan lapisan oksida, korosi dalam mulut terus berlanjut. Karena sirkulasi saliva yang konstan, ion-ion yang melebur akan bereaksi jika bersentuhan dengan saliva dan alloy melepaskan ion yang baru, yang memprovokasi korosi lebih lanjut. Lian dan Meletis membuktikan pengamatannya bahwa restorasi gigi yang diekspos terhadap gaya gesekan yang kuat selama pengunyahan, akan mengalami korosi dan melemah lebih cepat dibanding yang memiliki gaya yang kurang gesekan. Mereka menjelaskan hal ini dengan hilangnya lapisan oksida pasif pada permukaan alloy selama pengunyahan. Dengan memindahkan lapisan yang baru, alloy masih terurai dan lebih banyak lapisan yang dipengaruhi oleh korosi, yang menyebabkan lemahnya restorasi.

Karena alasan ekonomi, alloy gigi yang tidak kuat telah sering digunakan. Yang paling banyak adalah alloy Co-Cr dan alloy Ni-Cr yang jauh lebih murah ketimbang emas. Alloy-alloy ini memiliki kekuatan regangan lebih tinggi, modulus elastisitasnya lebih tinggi dan memiliki lebih sedikit kepadatan. Karakteristik negatif jika dibandingkan dengan alloy yang kuat adalah: titik lebur yang lebih tinggi, lebih keras untuk dibentuk, kehilangan kecemerlangan yang lebih tinggi dan kecenderungan terhadap oksidasi dan korosi. Juga, alloy-alloy Ni seringkali memicu reaksi-reaksi alergi. Pengaplikasian alloy-alloy ini dalam mulut akan menyebabkan perubahan warna, rasa logam dan resorpsi produk korosif yang merusak melalui saluran gastrointestinal. Karena fakta ini, kita perlu meneliti kekebalan korosif dari alloy-alloy yang mengandung nikel. Messer dan Lucas meneliti jenis-jenis alloy nikel yang berbeda. Beberapa dari alloy ini menunjukkan kecenderungan yang tinggi terhadap korosi dan sitotoksisitas, walaupun hasil-hasil seperti ini tidak ditunjukkan pada alloy-alloy nikel yang lain. Ozdemir dan rekan-rekannya meneliti kuantitas ion yang dilepaskan dari alloy Ni-Cr Wrolloy dan Wiron 99 yang dicelupkan pada sebuah penangas korosif. Kedua alloy menunjukkan kecenderungan terhadap korosi, walaupun Wironit melepaskan jauh lebih sedikit ion Ni dan Cl ketimbang Wirolloy.

Disamping reaksi alergis terhadap nikel, alloy-alloy Ni-Cr yang baru, seperti Wiron NT, telah dipasarkan. Para peneliti tentang korosi telah menunjukkan bahwa Wiron NT merupakan sebuah alloy yang cukup memuaskan kekebalan korosinya. Kuantitas ion Ni dan Cr yang dilepaskan setiap hari lebih kecil dari asupan harian melalui makanan. Lebih lanjut, telah dibuktikan bahwa pasien yang alergi terhadap Ni, dan memiliki alat prostetik dalam mulutnya yang terbuat dari alloy Ni-Cr ternyata tidak mengalami gejala alergi apapun.

Pd juga merupakan sebuah alergen. Alloy Pd-Cu menunjukkan reaksi alergik, meski gejala-gejala seperti ini tidak ditunjukkan pada alloy-alloy Pd yang lain. Berzins dan rekan-rekannya menguatkan hasil klinis dengan kecenderungan lebih besar terhadap korosi alloy Pd-Cu dibanding alloy Pd.

Angellini menujukkan pada alloy Pd gigi bahwa alloy-alloy identik dalam media korosi yang sama bisa menunjukkan kecenderungan yang berbeda terhadap korosi, tergantung pada kondisi-kondisi teknis, misalnya suhu dan lamanya peleburan, pemanasan ulang, periode pendinginan dan seterusnya. Keberadaan fluoride dalam saliva juga bisa meningkatkan kecenderungan terhadap korosi. Guglielmino menunjukkan bahwa keberadaan NaF dalam saliva tidak merubah aktivitas korosi dari alloy Pd, tapi meningkatkan korosi alloy titanium.

Hassler meneliti ketahanan korosi dari sebuah struktur yang terdiri dari komposisi kimia yang berbeda. Setelah 1, 3, 7, 42 da 84 hari dibiarkan dalam saliva buatan, stabilitas korosi tertinggi ditunjukkan oleh logam mulia dan yang terdiri dari titanium. Alloy CoCr menunjukkan ketidakstabilan terhadap korosi yang tinggi. Pada hari pertama, alloy FeCrNi menunjukkan ketidakstabilan korosi yang tinggi, tapi setelah fase pasif, alloy-alloy ini menunjukkan tingkat stabilitas korosi yang memuaskan.

Hermann meneliti pengaruh pH saliva yang berbeda terhadap kekerasan alloy Ni-Cr, Co-Cr dan Pd. Dia menyimpulkan bahwa setelah 90 hari dibiarkan dalam penangas korosif pH = 4,2, kekerasan kebanyakan sampel mendekati nol, sedangkan hanya Pd yang menunjukkan hasil yang sedikit lebih baik.

Perlekatan seringkali terhubung dengan elemen dasar yang bisa mengalami korosi dan mempersingkat penggunaan bahan prostetik keseluruhan, tergantung pada komposisi kimianya. Zak dan Strietzel memperingatkan tentang pentingnya solder yang digunakan untuk ketahanan korosi alloy dan mereka memberikan prioritas untuk pengelasan dengan menggunakan laser.

Titanium

Karena sifat elektrokimianya. Maka titanum, sebagai logam yang paling biokompatibel, sering digunakan dalam kedokteran gigi modern serta dalam prostetik.

Marinovic dan rekan-rekannya meneliti kekebalan korosi dari alloy-alloy titanium untuk implant ortopedik pada cairan-cairan badan. Penelitan spektro-elektrokimia terhadap alloy titanium serata in vitro telah menunjukkan pembentukan lapisan oksida protektif yang berkualitas pada permukaan alloy. Dengan membandingkan stabilitas titanium pada berbagai penangas korosi yang berbeda, dengan hasil yang diperoleh dari alloy-alloy ini, maka para peneliti menyimpulkan bahwa titanium tidak diragukan lagi merupakan elemen yang paling tahan terhadap korosi. Akan tetapi, jika dikombinasikan dengan logam-logam lain, maka elemen ini bisa membentuk sel galvani yang kuat, sehingga kita perlu berhati-hati saat menggabungkan titanium dengan alloy lain. Beberapa peneliti meyakini bahwa logam mulia (An, Ag, Pd) jika dikombinasikan dengan titanium hampir tidak membentuk aliran galvani, sedangkan jika dikombinasikan dengan alloy Cr-Mo dan Ni-Cr, terbentuk arus galvani lemah. Jika dikombinasikan dengan Ni-Cr-Be, arus-arus ini cukup penting, sehingga alloy-alloy tersebut perlu dihindari. Akan tetapi, Venugoplan menganggap arus-arus ini tidak penting.

Karen meneliti pengaruh asam-asam amino terhadap korosi alloy titanium dan menyimpulkan bahwa keberadaan triptophan dalam saliva tidak mempengaruhi kekebalan korosi dari titanium, sedangkan cistein dapat meningkatkannya.

Biokompatibilitas dan kekebalan korosi

Biokompatibilitas alloy sangat terkait dengan kekebalan korosi. Pengaruh yang merusak dari alloy terhadap organisme dimulai dengan pelarutan komponen-komponen zat toksiknya, yang terjadi sebagai akbat dari korosi. Dampak negatif dari korosi terhadap alloy gigi telah diteliti oleh berbagai peneliti. Ini utamanya pada penelitian-penelitian in vitro, yang kekurangan kondisi spesifik pada mana alloy-alloy ini diekspos dalam mulut, dan dengan demikian, menurut ADA tidak dapat memberikan data yang benar-benar dapat dipercaya.

Walaupun banyak alloy gigi yang tidak memiliki kekebalan korosi tinggi jika dibandingkan dengan titanium, namun ini tidak berarti bahwa alloy-alloy tersebut tidak boleh digunakan. Jika seseorang membandngkan tingkat toksik elemen tertentu dengan kuantitas yang terlarut setiap hari dalam mulut sebagai akibat dari korosi, maka seringkali seseorang harus menunggu melarutnya seluruh mahkota agar terjadi dosis yang toksik. Itulah sebabnya Strietzel melakukan pemeriksaan yang lebih komprehensif terhadap korosi alloy gigi konvensional, sebelum melarang penggunaannya. Alloy-alloy logam mulia, juga bisa korosif, walaupun jauh lebih sedikit dibanding yang non-mulia. Setelah mengukur konsentrasi Pt dan Au dalam urin setelah penanaman alat prostetik yang terbuat dari alloy platinum dan emas, persentas ion Pt terlarut yang cukup tinggi ditemukan, dibanding ion-ion Au. Beberapa penelitian telah berupaya untuk mencari solusi tentang bagaimana menghasilkan logam non-mulia yang lebih stabil terhadap korosi dalam media yang agresif secara kimiawai. Dengan menambahkan Pd dan Au ke dalam sebuah alloy, resistensi korosif dari alloy Ag-Mn akan meningkat.

Dengan menambahkan Pd ke alloy yang sama, korosi berkurang lebih besar dibanding dengan menambahkan Au. Syverud dan rekan-rekannya menunjukkan secara in vitro bahwa dengan menambahkan Cu ke alloy Pd, maka korosinya akan meningkat, demikian juga dengan sitotoksisitasnya. Ini juga dibuktikan oleh hasil-hasil klinis tentang kenampakan gingivitis di sekitar alloy yang ditanam. Wataha dan Lockwood meneliti kekebalan korosi dari alloy Au, Ag, Pd dan Ni, dan membuktikan bahwa alloy Pd-Au memiliki kekebalan korosi tertinggi, sedangkan alloy Ag-Au-Cu memiliki kekebalan korosi terendah.

Kadar kekebalan korosi yang tinggi pada alloy logam non-mulia bisa dicapai dengan menutupinya dengan lapisan-lapisan protektif.

Lapisan-lapisan protektif anti-korosi dan alloy-alloy gigi.

Alloy Co-Cr menunjukkan peningkatan kekebalan korosi yang sangat meningkat, serta kualitas kekerasan ikatan yang aik antara alloy dengan lapisan, dan untuk alasan inilah lapisan-lapisan ini direkomendasikan untuk digunakan secara luas oleh Hsu dan Yen। Alloy tahan korosi yang amorf dan baru muncul dipasaran yang juga bisa digunakan untuk perlidnungan terhadap korosi alloy gigi. Dengan adanya alloy Fe-Cr-P-C amorf yang tahan korosi pada tahun 1974, maka alloy-alloy tahan korosi amorf yang lain bermunculan di pasaran. Penelitian tentang alloy Al-W telah dibuktikan bahwa alloy-alloy ini memiliki karakteristik kimia dan listrik yang baik, dan kekebalan tinggi terhadap kristalisasi dan perubahan suhu. Menurut penelitian yang dilakukan pada larutan HCl dan saliva buatan, kadar kekebalan korosi yang tinggi telah ditemukan, yang berkaitan dengan komposisi kimia dari alloy, yaitu persentase Al dan W dalam alloy.

http://penerjemahonline.wordpress.com/2008/10/24/alloy-gigi-dan-kekebalan-terhadap-korosi/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar Anda...

Bidvertiser